Kalau apa yang dikutip Kompas.com dari Bloomberg bahwa program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan disamakan dengan Obamacare di Amerika,
maka kita bisa namakan BPJS Kesehatan dengan nama "SBY-care". Kata
Bloomberg lagi, program BPJS Kesehatan ini ditunggu dunia
keberhasilannya karena program serupa di Amerika tidak berjalan mulus.
BPJS-nya Indonesia akan menjadi asuransi kesehatan terbesar di dunia
jika pada 1 Januari 2019 mendatang, seperti direncanakan, akan mencakup
seluruh warga negara Indonesia.
Orang Indonesia mana yang tidak bangga mendapat pujian dari media asing
tersebut. "Dunia menunggu" adalah sebuah istilah yang menggambarkan
betapa kini bangsa Indonesia menjadi acuan, meskipun Indonesia bukan
pionir, dalam keberhasilan sebuah negara menjamin kesehatan warga
negaranya tanpa terkecuali.
Saya termasuk orang yang antusias dengan program ini. Program lintas
pemerintah (dari Megawati ke SBY), lintas periode (dari Kabinet
Indonesia Bersatu Jilid 1 ke Jilid 2) menggambarkan betapa panjangnya
waktu yang dibutuhkan pemerintah untuk memulai BPJS Kesehatan yang resmi
berlaku 1 Januari 2014. Sebagai warga negara saya merasa bertanggung
jawab untuk mensukseskan program ini.
Itulah yang saya lakukan hari ini. Tanpa pikir panjang saya berniat
untuk mendaftarkan diri sebagai peserta BPJS Kesehatan. Berbekal
informasi di media cetak dan online tentang tetek bengek persyaratan,
maka saya pun menyiapkan semua persyaratan itu dengan lengkap.
Meluncurlah saya dengan angkutan kota ke kantor cabang BPJS Kesehatan
(sebelumnya PT Askes). Karena sekarang saya sedang bermukin di Kota
Surabaya, maka saya mendatangi Kantor Cabang Utama BPJS Kesehatan
Surabaya di Jl. Raya Dharmahusada Indah No.2. Turun dari angkot saya
melihat kantor masih sepi. Tapi ini mungkin karena saya datang terlalu
pagi, belum tepat pukul 08.00 WIB. Saya lihat tenda sudah terpasang
dengan deretan kursi. Hari biasa tidak seperti ini.

Sumber: Gambar 1. Kantor Cabang BPJS Kesehatan Surabaya
Di depan deretan kursi itu terdapat meja petugas yang ditemani beberapa
orang yang mengisi formulir. Yang pertama saya tanyakan adalah apakah
boleh saya mendaftar di kantor cabang ini sementara domisili KTP saya
bukan wilayah Jawa Timur. "Boleh" kata petugas dan hati saya lega
mendengarnya. Maka saya ambil formulir pendaftarannya dan saya isi.
Dari informasi di media saya tahu bahwa peserta BPJS ini dibagi dua:
penerima bantuan iuran (PBI) dan non-PBI (selengkapnya baca: Tanya Jawab BPJS Kesehatan).
Untuk kategori non-PBI dibagi lagi menjadi (1) penerima upah dan (2)
non-penerima upah. Kategori pertama adalah mereka yang sebelum BPJS
mendapat asuransi dengan dipotong upah bulanannya. PNS dan keluarganya,
TNI/Polri dan keluarganya, serta pegawa swasta yang ditanggung
Jamsostek. Mereka ini tinggal mengalihkan saja asuransinya terdahulu
menjadi BPJS.
Kategori kedua adalah mereka yang bukan termasuk kategori penerima upah.
Yang termasuk dalam golongan ini adalah pengusaha, investor, dan yang
bekerja tanpa upah bulanan. Saya mengukur diri, masuk di manakah saya.
Tentu yang paling enak adalah menjadi PBI yang premi iurannya dibayar
oleh pemerintah. Tapi saya tahu ini sangat rumit. Terbukti ketika saya
tanyakan kepada petugas apakah saya bisa mendaftar PBI, sang petugas
mengatakan "Itu urusannya Dinas Kesehatan". Berdasarkan pengalaman saya,
kalau sudah berurusan dengan birokrasi pemerintah, pasti dipersulit.
Lagipula saya tidak mau pura-pura miskin dengan membuat surat miskin.
Gugurlah peluang menjadi peserta PBI. Maka peluang saya tinggal menjadi
peserta non-PBI dengan dua kategori tadi, penerima upah dan bukan
penerima upah. Berhubung saya masih pengangguran, maka jelas tidak
mungkin saya menjadi peserta penerima upah. Setelah mengukur diri
sendiri dan melihat kenyataan yang ada, maka saya otomatis harus
mendaftar sebagai peserta non-PBI non-penerima upah.
Pada peserta kategori ini, premi asuransi harus dibayar sendiri alias
mandiri. Terdapat tiga level tingkat premi berdasarkan kemampuan
ekonomi: (1) 59.500 (2) 42.500 (3) 25.500. Premi ini adalah perorang
perbulan. Karena saya sadar kemampuan keuangan saya, maka saya sudah
tidak bisa mengelak untuk masuk kategori premi tingkat tiga alias paling
murah.
Lantas saya mengisi formulir pendaftaran untuk diri saya sendiri, bukan
keluarga. Saya lalu masuk ke dalam kantor untuk mengikuti tahap
selanjutnya. Berhubung sudah banyak antrian di dalam (padahal waktu buka
resmi adalah pukul 08.00), maka saya mengambil nomor antrian dari pak
satpam. Beginilah kira-kira tahap pendaftaran yang harus kita lalui:

Sumber: Gambar 2. Alur pendaftaran
1. Verifikasi
Pada tahap ini kita menyerahkan formulir yang sudah terisi beserta
dokumen pendukungnya. Berhubung saya mendaftar sendiri, bukan keluarga,
saya cukup membawa pasfoto 3x4 satu lembar, fotokopi KTP, dan fotokopi
Kartu Keluarga. Bagi pendaftar yang anggota keluarganya ada yang belum
mempunyai KTP, harus menyertakan fotokopi akta kelahiran. Pada tahap ini
kita ditanyai pilihan fasilitas kesehatan tingkat pertama yang ada di
daerah cakupan layanan kantor cabang. Fasilitas kesehatan tingkat
pertama adalah puskesmas dan dokter keluarga. Berhubung wilayah layanan
kantor cabang BPJS Kesehatan Surabaya meliputi Kota Surabaya, Gresik,
dan Sidoarjo, maka kita harus memilih puskesmas/dokter keluarga yang
beralamat di tiga daerah ini. Tidak bisa misalnya kita memilih puskesmas
di Jakarta atau Papua.
2. Pengambilan Nomor Virtual Account

Sumber: Gambar 3. Lembar Virtual Account
Setelah selesai tahap (1), maka kita kemudian berlanjut ke tahap
pengambilan Nomor Virtual Account (NVA). Tahap ini boleh dibilang paling
memakan waktu. Selain petugas yang belum cekatan, terdapat juga kendala
teknis berupa leletnya komputer. Jadi untuk melayani satu orang,
petugas butuh waktu hingga 10 menit. Bayangkan betapa lelahnya menunggu.
Pada tahap ini informasi diri kita yang telah diverifikasi pada tahap
(1) akan dimasukkan ke dalam komputer. Setelah semua data masuk, maka
petugas akan memberikan kepada kita selembar kertas berisi NVA dari tiga
Bank. NVA ini berguna ketika kita membayar premi bulanan.
3. Pembayaran Premi Pertama

Sumber: Gambar 4. Suasana kantor layanan BPJS Kesehatan Suarabaya
Sebagaimana sudah saya katakana sebelumnya, saya termasuk kategori
pembayar premi mandiri. Maka, setiap bulan saya harus membayar premi
melalu bank pemerintah. Bank pemerintah itu adalah Mandiri, BNI, dan
BRI. Pembayaran premi bulan pertama dilakukan di kantor cabang itu
langsung. Kebetulan Bank yang ditunjuk adalah Mandiri. Untuk pembayaran
bulan selanjutnya, kita bisa memilih kedua bank lainnya.
Maka saya pun membayar sebesar 25.500 rupiah. Pihak bank lalu memberikan bukti transfer kepada kita.
4. Pengambilan Kartu
Usai mendapatkan bukti transfer, kita menyerahkannya kepada petugas
loket "pengambilan kartu". Kita menunggu nama kita dipanggil untuk
mendapatkan kartu yang langsung dicetak saat itu juga. Kembali, waktu
pelayanan untuk satu orang sangat lama. Dalam kasus saya, waktu menunggu
panggilan memakan waktu 1,5 jam.
Tapi saya harus memberikan apresiasi kepada petugas loket ini yang
kebetulan laki-laki. "Sampeyan gak Jumat'an ta?" kata petugas loket
perempuan di sampingnya. Sang petugas memilih tidak menunaikan
kewajibannya untuk Shalat Jumat demi melayani peserta. Bisa dibayangkan
seandaiya petugas itu Shalat Jumat, waktu tunggu dapat molor lebih lama
lagi. Jadi saya mengapresiasi petugas loket ini.
Tibalah giliran nama saya dipanggil. Beruntung waktu penyerahan kartu
saya tidak sampai memakan waktu lima menit. Sedangkan orang lain bisa 10
menit lebih. Pukul 12.35, kartu BPJS saya terima dengan wajah
sumringah.
Dihitung-hitung, total waktu sejak saya melangkahkan kaki di kantor BPJS
Kesehatan hingga menerima kartu adalah selama 4 jam 40 menit. Padahal
saya sudah datang sebelum pukul 08.00. Saya mendapat nomor urut 195 dan
nomor urut paling awal adalah 160-an (nomor urut berlanjut sejak hari
pertama). Jadi saya adalah orang ke-30 yang mendaftar hari itu. Bisa
dibayangkan jika Anda adalah orang ke 40, 50, 60. Saya yakin kartu akan
diambil keesokan harinya.
Saran saya, datanglah cepat jika tidak ingin menunggu waktu lama!
Tak Takut Sakit

Sumber: Gambar 5. Kartu BPJS Kesehatan
Setelah kartu dalam genggaman, saya pulang kembali dengan angkot. Mulai
saat ini saya tidak perlu lagi takut untuk sakit. Meski jauh dari
kampung saya tidak perlu khawatir soal biaya. Tentu saya harus membayar
premi dengan rutin sebesar 25.500 rupiah. Harus perbulan, tidak bisa
bayar sekaligus untuk beberapa bulan. Pembayaran harus dilakukan dari
tanggal 1 hingga 10 tiap bulannya. Apabila telat, siap-siaplah
menanggung denda.
Saya awalnya berpikir pembayaran perbulan ini merupakan kekurangan
sistem BPJS Kesehatan. Mengapa tidak bisa dibayar sekaligus untuk
beberapa bulan. Tapi barangkali BPJS ingin pesertanya seperti membayar
listrik atau air yang dilakukan tiap bulan sehingga kita tidak mudah
lupa menunaikan kewajiban. Bayar empat bulan ke depan, tapi karena lupa,
kita telat selama dua bulan. Entahlah, saya belum bisa menilai ini
sebagai kekurangan atau justru nilai plus karena masih tahap uji coba.
Pertanyaanya, mahalkah 25.500 perbulan itu untuk sebuah asuransi
kesehatan? Kalau dihitung-hitung, setahun saya akan membayar sebesar 300
ribu lebih. Ini tentu nominal uang yang cukup lumayan. Tapi dengan
kartu BPJS, saya bisa mendapat pengobatan gratis sebagaimana ketika saya
dulu ditanggung Askes orang tua.
Sekali lagi, saya bangga sekali menjadi menjadi bagian dari apa yang
ditunggu dunia (seperti yang dikatakan Blommberg). Tapi lebih dari itu
inilah ejawantah dari cita-cita prinsip keadilan sosial yang selalu kita
ucapkan dalam sila Pancasila. Sebuah cita-cita yang baru terwujud
setelah merdeka hampir 70 tahun.
Tidak bisa tidak, pujian harus diberikan kepada Presiden SBY atas
upayanya ini. Seperti biasa, tidak ada puja-puji dari media kepada SBY.
Tidak seperti ketika Jokowi misalnya dengan Kartu Jakarta Pintar-nya
yang terkesan dipaksakan hingga Askes harus turun tangan itu.
Bagi saya BPJS adalah personifikasi dari karakter SBY yang sangat
berhati-hati atau apa yang dikatakan orang sebagai lamban dan ragu-ragu.
Bukan sensasi, tapi esensi. Ini slogan Kompasiana yang saya pinjam
untuk program BPJS. Program ini dirancang sedemikian rupa hingga
menunggu semua perangkat yang dibutuhkan benar-benar siap. Sebagai
contoh sederhana, BPJS tidak akan dijalankan seandainya belum berlaku
Nomor Induk Kependudukan tunggal yang diamanatkan dalam undang-undang
tentang kependudukan.
"Kami bekerjasama dengan Disdukcapil" kata petugas ketika seorang
peserta bertanya ihwal pendaftaran. Saya langsung berpikir, seandainya
tidak ada NIK tunggal, barangkali saya bisa membuat kartu BPJS baru di
manapun. Kalau saya telat bayar premi, maka saya bisa buat baru.
Sebagaimana dulu kita bisa buat KTP ganda.
Sudah hampir lima tahun saya di Kompasiana. Banyak sekali kritik saya
terhadap SBY terutama soal sikap peragunya itu. Tapi harus saya akui,
jika SBY latah hanya untuk keuntungan populis, bisa dipastikan BPJS
Kesehatan akan amburadul. Tidak hanya seperti KJS dalam contoh kecil,
tapi bisa juga senasib dengan Obamacare di Amerika yang penuh penolakan.
Saya kira, inilah prestasi terbesar SBY dalam pemerintahannya. Beberapa
bulan lalu, Rhenald Kasali pernah menulis opini sarkastis terhadap SBY
di harian Kompas. Menurut Guru Besar UI ini, dalam 10 tahun SBY
berkuasa, dia hanya menghasilkan dua perubahan besar. Perubahan itu
adalah perdamaian Aceh dan konversi BBM ke gas. Itupun terjadi di KIB
jilid 1 dengan peran Jusuf Kalla yang besar untuk dua perubahan itu.
Rhenald tentu salah hitung karena nyata-nyata SBY belum berkuasa selama
10 tahun. Saya juga tidak yakin kalau dia lupa bahwa pada 1 Januari 2014
BPJS Kesehatan akan diluncurkan. Saya berpikir positif saja bahwa
Rhenald barangkali sengaja menulis opininya itu sebelum peluncuran BPJS.
Jika kritik itu dilakukan sekarang, banyak orang akan meragukan
intelektualitasnya karena menyangkal BPJS sebagai perubahan besar di
era-SBY.
Aduh, mengapa saya jadi memuji SBY begini?
Mungkin inilah efek sukacita tidak terkira yang saya rasakan. Bahkan
ketika menulis ini, perut saya sudah bunyi "kriuk-kriuk" sebagai
pertanda minta makan. Padahal saya mengidap asam lambung. Tapi saya
kesampingkan semua itu demi menulis ini. Ah, kalau sakit tinggal pergi
ke dokter. Kan gratis! Hehehe
Mudah-mudahan dengan adanya BPJS ini siapun kini tidak perlu takut untuk
menjadi sakit. Toh kata dokter, rasa cemas dan stress (salah satunya
karena takut mahalnya biaya berobat) justru dapat memperbesar risiko
sakit itu sendiri.
Ayo kita sukseskan program BPJS Kesehatan. Siapapun dia, baik yang kaya
maupun miskin, penyakitan maupun bugar, segera mendaftar menjadi peserta
BPJS Kesehatan. Saat ini dunia sedang menunggu kita!