Mengatasi "Burnout" di Tempat Kerja

KOMPAS.com - ”Burnout” adalah kondisi terperas habis dan kehilangan energi psikis maupun fisik. Biasanya hal itu disebabkan oleh situasi kerja yang tidak mendukung atau tidak sesuai dengan kebutuhan dan harapan.



T (35), perempuan bekerja, bercerita: ”Sudah dua tahun ini saya merasa banyak masalah di tempat kerja. Saya pikir saya sudah berhasil menyelesaikan kebingungan saya sendiri pada akhir tahun lalu dan bikin resolusi untuk tahun ini. Tetapi, pas akan masuk kerja, saya sudah cemas, deg-degan, perut mulas, dan diare.
Sekarang sudah beberapa hari kerja, ternyata saya masih mudah merasa capek, tidak bisa berpikir, lemas. Saya juga kaget, kok bisa lupa pada hal sangat penting yang harus segera saya bereskan. Padahal, pikir-pikir dulu saya bisa menangani banyak pekerjaan sulit dengan cepat.

Sepertinya masalahnya bermula dengan masuknya pemimpin baru di kantor kami. Dia ambisius bikin perombakan total tanpa mendengar suara orang lapangan. Sebagai orang di lini tengah, saya merasa terjepit, sulit sekali meneruskan masukan dari bawahan. Beberapa karyawan tidak dilanjutkan kontraknya dan sepertinya sekarang orang sudah tidak peduli, cuma berpikir bagaimana menyelamatkan diri.

Sebenarnya kalau saya mau gampang, saya melamar saja untuk mengisi lowongan jabatan yang lebih bagus di kantor kami, dan terserahlah unit kerja saya jadinya mau bagaimana. Sepertinya saya akan diterima karena cocok sekali kualifikasinya dengan saya. Tetapi, kekecewaan saya mungkin besar sekali, rasanya tidak ada gairah lagi di sini.

Mau keluar cari kerja di tempat lain saya masih bingung meski keinginan itu besar. Sekaligus saya juga tidak tega dengan staf lapangan di unit kerja saya yang posisinya rentan. Nanti nasib mereka bagaimana, bisa-bisa unit malah ditiadakan. Saya benar-benar tidak tahu harus bagaimana….”

Karakteristik masalah
Tampaknya T sedang mengalami burnout yang parah dan masih berjuang keras untuk mengatasinya. T seolah mengalami situasi energi psikis habis diserap, bahkan berkekurangan dan berutang entah dari mana, untuk memberi bahan bakar bagi keberlangsungan kerjanya. Tuntutan kerja jauh melampaui ketersediaan energi yang ada.

Dalam waktu cukup lama sebagai manajer level tengah ia ingin menjalani tugas maksimal, menciptakan sikap positif, menyemangati bawahan. Tetapi, ia merasa gagal akibat tidak dapat menjadi jembatan yang baik antara atasan dan bawahan. Ia juga sekaligus menghayati banyak ketidaksetujuan dengan nilai-nilai dan pendekatan kerja atasannya, dan merasa sangat terbebani untuk memperbaiki situasi tanpa mengerti harus bagaimana.
Biasanya burnout dialami dalam bentuk kelelahan fisik, mental, dan emosional yang intens.

Karena bersifat psikobiologis (beban psikologis berpindah ke tampilan fisik, misalnya mudah pusing, tidak dapat berkonsentrasi, gampang sakit) dan biasanya bersifat kumulatif, kadang persoalan tidak demikian mudah diselesaikan. Apalagi bila sumber persoalan tidak dapat dibereskan. Bahkan, seperti spiral makin melebar, hal ini mengganggu kinerja dan pada gilirannya dapat menyebabkan tambahan tekanan bagi pekerja yang lain.

Kekurangjelasan hak dan tanggung jawab kerja serta konflik peran (misalnya tuntutan kerja tidak konsisten dengan nilai-nilai yang diyakini) dapat berkontribusi. Terlebih bila ada beban berlebih, tuntutan kerja yang berat tanpa ada penghargaan atau capaian yang dirasa memadai. Sedikitnya dukungan sosial di dalam lembaga maupun dari luar lembaga serta kesulitan untuk mengambil keputusan mandiri juga dapat menjadi penyebab.

Mengatasi masalah

Yang ideal adalah bila lembaga tempat kerja bisa mengembangkan mekanisme untuk mencegah atau meminimalkan burnout, dan pemimpin memahami peran yang idealnya dijalankannya untuk membawa energi positif dan kesolidan kerja dalam timnya.

Dalam kasus T pemimpin justru menjadi pihak yang menyebabkan, atau memperparah situasi. Bila memungkinkan, T dapat mencoba berkomunikasi dengan lebih terbuka, jujur sekaligus tetap santun dengan pemimpin barunya, benar-benar mencoba berperan sebagai ”jembatan”. Ia bisa mencoba memahami visi atasan, sekaligus menjelaskan situasi nyata di lapangan agar terjadi kompromi. Tentu T harus membekali diri secara baik dengan berbagai informasi yang diperlukan serta analisisnya.

Bila bawahan memang sulit mengupayakan komunikasi yang lebih baik dengan atasan, yang dapat dilakukan tampaknya hanyalah mengembangkan mekanisme pribadi dan lingkungan kerja terdekat untuk meminimalkan atau mengatasi masalah.

-Mengelola beban kerja secara realistis, menyadari bahwa tidak semua persoalan dapat segera dibereskan secara tuntas.

-Menyeimbangkan gaya hidup, seperti mengonsumsi makanan sehat, tidur dan istirahat cukup, berolahraga, dan mempertahankan koneksi dengan orang-orang dekat sebagai kelompok dukungan.

-Mengurangi ketegangan dengan berbagai cara fisik (olah napas, relaksasi, olah tubuh), menyelang-seling aktivitas stres tinggi (misalnya rapat penting, lobi) dengan aktivitas bertegangan rendah (bercakap dengan bawahan), menggunakan waktu jeda atau istirahat untuk recharge energi seperti ngobrol dengan teman dekat, nonton drama-komedi, duduk di depan kolam ikan, atau melakukan hobi.

-Menyadari atau mewaspadai tanda-tanda awal stres kerja (konflik dengan rekan dan atasan, beban berlebih) dan segera mengambil langkah mengelola atau mengatasinya.

Bila kita masih saja merasa sangat tidak nyaman dan tidak lagi terhubung dengan tempat kerja, bahkan terus berpikir ingin pergi, mungkin memang saatnya bagi kita untuk menemukan atau mengonstruksi yang baru.
Semoga kita memulai tahun 2010 dengan visi kerja yang jelas, antusiasme, dan energi besar. Kristi Poerwandari, Psikolog

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Daftar Blog


Silahkan Menjadi Follower Dan Dapatkan Info Yang Bermanfaat