Saban pagi, Ida--bukan nama asli--sering kali terlihat meringis. Bagaimana tidak, jari-jari tangan dan lututnya selalu terasa nyeri dan kaku. Beberapa saat ia tak bisa menggerakkan tubuh dengan leluasa. Bahkan, saat terjadi peradangan, bengkak kemerahan pun muncul di sekitar pangkal sendi buku jari tangannya. Rasanya sakit sekali. Ketidaknyamanan itu sudah lama melekat dengannya. Merasa tak tahan lagi, Ida memeriksakan diri ke Rumah Sakit Metropolitan Medical Centre (MMC)
. Diagnosis dokter menunjukkan dia mengidap salah satu jenis penyakit sendi, yang dikenal awam sebagai penyakit rematik. Dalam istilah medis, Ida terserang rheumatoid arthritis
Menurut guru besar Divisi Reumatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Indonesia, Profesor Dr dr Harry Isbagio, SpPD-KR, K-GER, masyarakat umum masih menilai rheumatoid arthritis sama dengan arthritis gout--nama penyakit rematik yang disebabkan oleh asam urat. "Padahal cuma 7 persen dari semua gangguan rematik yang diakibatkan oleh asam urat," katanya saat presentasi dalam acara media edukasi Wyeth mengenai rheumatoid arthritis di Hotel Sahid Jaya beberapa waktu lalu. Dijelaskan Harry, ada lebih dari 100 penyakit rematik yang mempunyai gejala yang mirip sehingga masyarakat akan sulit membedakannya.
RA adalah penyakit autoimun, yakni suatu reaksi sistem imun terhadap jaringan tubuh sendiri karena terjadinya gangguan pada fungsi normal dari sistem imun.
Kelainan reaksi ini menyebabkan sistem imun menyerang jaringan yang sebetulnya sehat. Biasanya, sendi yang terkena berciri khas. Bagian yang sering menjadi sasaran adalah sendi-sendi kecil seperti sendi tangan dan pergelangan tangan.
Semua itu terjadi secara simetris, artinya menyerang bagian dan kanan tubuh. Namun, secara umum penyakit yang jumlahnya 3-5 kali lebih banyak diderita oleh perempuan ini memiliki ciri-ciri kemerahan, kaku, nyeri, dan terbatasnya gerak pada sendi tangan, kaki, siku, lutut, dan leher.
Dalam rilis tercatat bahwa penyakit ini menyerang semua golongan usia. Tetapi, banyak diderita orang yang telah melewati usia 40 tahun dan sebelum 60 tahun. Jumlah pengidap penyakit ini sekitar 0,3 persen hingga 2 persen dari populasi dunia. Dengan jumlah tertinggi di Pima, India (5,3 persen); dan suku Indian (6,8 persen). Di Indonesia, data 2004 menunjukkan ada 2 juta orang telah terpapar RA, sedangkan di negara tetangga Malaysia sebanyak 200 ribu kasus.
Harry memaparkan, di Indonesia, RA pada anak dan remaja--kurang dari 18 tahun--rasionya 1:100 ribu jiwa. Sedangkan di atas 18 tahun prevalensinya sebesar 0,1 persen hingga 0,3 persen. "Walau prevalensinya sedikit, RA sangat progresif," mantan Ketua Umum Ikatan Reumatologi Indonesia ini menjelaskan. Artinya, apabila tidak ditangani secara benar, dalam waktu dua tahun berpotensi menyebabkan cacat sendi permanen.
Bahkan, RA dan penyakit penyertanya (komorbiditas) bisa mengakibatkan kematian dini karena dimungkinkan menyerang organ vital seperti mata, paru-paru, atau pembuluh darah.
Lalu, bagaimana tata laksana pengobatan RA secara dini? Dalam kasus Ida, awalnya dia memakai obat konvensional bernama metotrexate (MTX) selama dua tahun. Namun, obat yang dia konsumsi empat sampai delapan tablet per pekan ini ternyata tidak menelurkan efek berarti. Malahan, Harry sebagai dokter yang menangani Ida melihat sakitnya bertambah parah. Harry kemudian menganjurkan pasiennya itu mencoba obat biologis. Obat ini diketahui bisa menghambat suatu protein dalam tubuh yang disebut tumor necrosis factor alpha (TNF alpha) yang menyebabkan radang persendian.
Namun, Harry mengingatkan, setiap tubuh akan menerima obat secara berbeda. Perawatan juga disesuaikan, tergantung banyak faktor, seperti keaktifan penyakit, tipe-tipe sendi yang terlibat dan umur pasien. Yang konvensional tidak berarti tidak ampuh. Walau ada sejumlah efek samping pada obat metotrexate (MTX) seperti sariawan, penurunan jumlah sel darah putih dan gangguan fungsi hati. Malah jenis kloroquin bisa mengganggu pandangan dan keseimbangan tubuh. Sayangnya, obat biologis ini menurut profesor kelahiran Magelang ini memakan biaya sekitar Rp 12 juta per bulan.
Adapun RA merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat dikontrol sampai tercapainya tingkat remisi (sembuh sementara), yakni ketika gejala penyakit terutama kerusakan sendi dapat dihentikan dengan menggunakan obat pengubah perjalanan penyakit Disease Modifying Anti-Rheumatic Drugs
Seperti jenis obat konvensional dan biologis yang sudah disebutkan.
Lebih jauh, hingga kini para ahli belum mengetahui penyebab pasti penyakit ini. Namun, dugaan mengarah terhadap faktor genetik, lingkungan, infeksi, dan hormon. Para peneliti di Amerika Serikat dan Eropa telah mengkaji lebih dari 1.000 keluarga yang mempunyai dua anak atau lebih yang menderita RA. Ditemukan bahwa gen yang diduga menjadi penyebab RA adalah gen HLA-DR4. Meski begitu, para ahli percaya adanya gen-gen lain yang memicu perkembangan penyakit ini. Misalnya, gen PTPN22 dan dua gen tambahan lain.
Juga sejumlah mikroorganisme penyebab infeksi yang juga diduga menjadi faktor RA seperti
>mycoplasma, erysipelothrix, virus Epstein Barr, Parvo virus B19, dan rubela.
7 Gejala
1. Dimulai dengan nyeri dan kekakuan pada satu sendi atau lebih.
2. Umumnya pertama kali pasien menyadari nyeri pada jari-jari tangan.
3. Taraf awal jarang terjadi bengkak pada sendi.
4. Pembengkakan terlihat beberapa bulan setelah timbul nyeri dan kaku.
5. Sendi yang paling diserang adalah sendi pergelangan tangan dan pangkal sendi buku jari tangan.
6. Pada pasien lebih tua, kadang gejala RA bermula dengan sakit dan kekakuan otot di bahu dan pinggul.
7. Gejala bisa hilang-timbul, tergantung derajat peradangan yang terjadi. l
Tidak ada komentar:
Posting Komentar